Seni Berbicara Pada Remaja

Seni Berbicara pada Remaja 


Seni Berbicara Pada Remaja


Punya anak di usia remaja itu memang cukup challenging ya buk ibuk.

Ada yang merasa, berbicara pada remaja itu "susah". Ada yang merasa, berbicara pada remaja itu harus "berpanjang sabar" 🤣🤣. 

Tapi ada juga yang mengaku bahwa berbicara pada remaja itu gampang-gampang sulit. Kadang bisa dikorek ceritanya dengan mudah, tapi banyak juga yang mengaku harus mengeluarkan berbagai jurus agar si remaja mau mengeluarkan ceritanya. 

Banyak juga yang mengaku bahwa menghadapi remaja tuh tricky banget. Dikasih tahu ngeyel, merasa sudah tahu, didiemin kadang suka semau-maunya, ga dikasih tahu melenceng, eh giliran dinyinyirin marah 😂, wuah, serba salah 🤣. 

Berbicara dengan remaja itu memang ada seninya, kadang memang harus pakai trik.


  • 1. Fokus pada Pesan, Solusi

"Haduh, itu lampu depan kenapa masih idup aja sih, kalian ini gimana, bukannya dimatiin, mbok ya kalau liat lampu masih nyala gitu, langsung dimatiin! Jangan nunggu bunda omelin dulu!"

Kalau denger kata-kata atau omelan seperti itu, enak ga?

Nah, kalau kita yang diomelin seperti itu, di depan orang-orang, enak ga ya kira-kira?

Kalau kitanya aja ga merasa nyaman, apalagi anak-anak.

Itu lah yang dirasakan anak ketika diomeli panjang, lebar, ngalor ngidul. Ngomel panjang kali lebar, ngalor ngidul ga ke inti masalahnya itu sebenarnya cuma bikin capek, karena anak justru ga bisa menangkap pesan yang mau disampai kan dengan jelas. 

Karena ketika ngomel, orangtua sebenarnya kan cuma menumpahkan uneg-uneg, menumpahkan kekesalan. Emaknya yang butuh tempat curhat? Butuh ngomel? Tapi anak yang jadi sasaran. Kasihan kan 😭. 

Anak malah jadi menangkap pesan "orangtua gua lagi kesel!". Pesan yang mau orangtua sampaikan malah jadi "kabur", bias.

Better sampai kan langsung poin yang mau dibicarakan, sampaikan intinya saja. 

"Fer, lampu atas depan tolong matiin dong!"

Udah, itu aja, ga perlu panjang-panjang kan? Fokus pada apa yang sebenarnya mau disampaikan! Pastikan anak memahami pesan orangtua.


  • 2. Hindari Mengomel

Mengomel ngalor ngidul untuk menumpahkan emosi atau kekesalan orang tua hanya akan membuat anak kesal, marah, benci, sakit hati, dsb.

Hindari Mengomel
Hindari Mengomel

Mengomel juga membuat pesan yang akan kita sampai kan menjadi kabur, bias. Anak jadi kesulitan menangkap pesan sebenarnya yang ingin disampaikan orang tua.

"Bunda kan dah berkali-kali bilang, kalau udah agak siangan lampu depan itu dimatiin. Jangan nunggu diingetin terus dong, gimana sih"

Nah, gimana, kira-kira enak ga denger orang ngomel gitu?

Kira-kira apa yg ibu/bapak rasakan ketika mendengar omelan seperti itu?

Enak ga digituin?

Nah, kalau kita sendiri ga merasa nyaman dengan omelan semacam itu, coba lah kembalikan ke diri sendiri, kira-kira saya sebel ga digituin. Kalau iya, ya sebaiknya jangan lakukan itu ke orang lain.


  •  3. Ajak diskusi

Anak-anak itu walau pemikirannya belum dewasa, bukan berarti tidak bisa diajak bertukar pikiran. Kadang mereka bisa  mengeluarkan ide-ide terkini yang mungkin gak terpikir sama kita.

Dengan mengajak anak berdiskusi, kita melibatkan mereka dalam kehidupan kita, menganggap mereka ada, menganggap mereka berguna, bermanfaat, mampu memberikan kontribusi pada kehidupan keluarga. 

"Fer, tiap hari, kalau di luar sudah terang, lampu atas matiin ya, bisa kan?"

"Bisa bund"

"Perlu bunda ingetin?"

"Nggak!"

Ok, kalau anak sudah menyatakan sanggup, ya udah percaya aja, jangan dinyinyirin atau dibawelin lagi tiap hari. 

Kalau orangtua masih nyinyir dan bawel tiap hari, anak menangkap pesan bahwa orangtuanya ga pernah percaya pada kemampuannya. Dan ini bisa mencoreng harga diri anak, anak bisa terluka dan merasa kurang bisa dipercaya, anak jadi merasa dirinya kurang berharga, kurang dipercaya, kurang kompeten, dsb. Buntutnya, anak jadi kurang respek sama orangtuanya. So, percaya aja ya mom, bund, Mak 😂.

Ajak Diskusi
Ajak diskusi

Contoh lain

"Kak, bunda tuh cuma punya uang satu juta. Tapi harus bayar daftar ulang adek sama bayar seragam kakak, enaknya gimana ya?"

"Gini aja bund, gimana kalo bayar dulu uang daftar ulang, seragamnya bisa nyusul atau sementara pinjem seragam sama temen kakak"

Dengan diajak berdiskusi, kita menanamkan trust dan membuat anak merasa dipercaya bahwa dia mampu dan pendapatnya cukup berharga untuk didengar. 

Anak yang sering diajak diskusi keluarga semacam ini akan merasa percaya diri. Merasa ia cukup kompeten, punya kemampuan berpendapat. Sekaligus melatih kemampuan soft skill, mengajukan pendapat, problem solving, dsb.


  • 4. Cerita lucu, hal-hal menarik

Ada anak-anak yang mungkin agak susah dipancing bercerita, banyak diamnya, ga mau cerita-cerita, super pendiam, dsb. Nah anak-anak model ini masih bisa diajak ngobrol dengan cerita-cerita lucu kog. 

Cerita lucu, konyol, biasanya mudah mencairkan suasana dan membuat anak lebih rileks sehingga lebih mudah mengalirkan cerita yang kurang lebih sama. 

Ga punya hal-hal lucu? Bisa juga cerita hal-hal menarik di sekitar kita. Ketika anak sudah menemukan sesuatu yang relate dengan yang kita ceritakan, ceritanya akan mengalir dengan sendirinya tanpa susah-susah dikorek *cmiiw

Cerita misteri juga bisa kalau sekiranya cukup fantastis dan menarik perhatian. 

"Kak kak, tadi siang bunda denger ada suara-suara di belakang. Bunda pikir angin. Tapi kog dilihat ke luar ga ada angin sama sekali. Pohon aja daun-daunnya ga bergerak. Duh, bunda jadi takut. Kakak suka denger suara-suara juga ga sih?"

"Wah iya bund, kayaknya aku suka denger gitu juga. Malah tadi di sekolah sempet ngalamin gitu"

Cerita memancing cerita, ini bisa menciptakan kebersamaan dengan anak

Anak-anak yang pendiam sekali pun akan lebih mudah bercerita ketika merasa relate dengan apa yang kita ceritakan. Jadi, apa pun bisa diceritakan untuk "mengundang anak bercerita"

Ga ada salahnya orangtua cerita tentang kelemahan atau kesalahan-kesalahan kecil di masa lalu. Bisa juga cerita hal-hal konyol ga masuk akal buat ditertawakan bersama-sama. 

"Dulu tuh ayah suka diomelin guru, gara-gara bolak balik ijin ke toilet

"Hahaha, kog sama, aku juga hampir dimarahin Bu guru gara-gara ke toilet mulu"

atau 

"wah dulu bunda SD rapotnya merah, pas udah SMP-SMA aja bagusan"

Hal-hal seperti ini akan menguatkan bonding, ikatan antara anak dan orangtua menjadi lebih kuat, membuat anak-anak merasa bahwa orang tuanya bukan Malaikat atau Super Hero yang ga pernah salah, tapi manusia biasa yang juga pernah nangis, kesel, marah, dsb.


  • 5. Become listener

Jadi lah pendengar yang baik. Dengar kan cerita anak, sesekali tanya-tanya untuk menggali ceritanya. Dengar kan aja semua cerita anak baik-baik, sebisa mungkin jangan diinterupsi, tangkap pesannya, validasi perasaannya.

Sebisa mungkin hindari bertindak sebagai orangtua yang menghakimi, judging, menasehati, ketika anak bercerita. Dinasehati apalagi dihakimi itu sama sekali ga enak. Anak akan merasa ga nyaman ketika baru cerita sedikit aja orang tua sudah memotong ceritanya, lantas menasehati ini itu, sesuatu yang ga mereka butuhin. Kita boleh menasehati ini itu kalau memang anak butuh nasehat, emang minta pendapat. Kalau ngga diminta, ya udah, tahan-taman diri ya pak Bu 😁.

Orangtua boleh aja menasehati atau memasukkan nilai-nilai penting pada anak, tapi harus lihat-lihat situasinya. Kalau dalam konteks anak sedang bercerita, "jangan sotoy" dan masuk dengan nasehat-nasehat ini itu. Percuma! Ga akan didengar anak. Pada saat itu mereka cuma butuh didengar, butuh "curhat", ga butuh dihakimi, apalagi dinasehati sesuatu yang ga mereka butuhkan!

"Wah tadi kamu telat? Nah, makanya besok-besok bangun pagi-pagi dong, jangan begadang, biar ga telat sekolahnya!"

Coba ibu/bapak bayangkan sendiri, kalau ibu/bapak lagi asyik-asyik cerita begitu sama temen, trus temen ibu bapak ngomel kayak gitu, kira-kira enak didengar ga?

Sekali merasa ga nyaman cerita sama orangtua, bisa seterusnya anak malas cerita karena merasa ga nyaman, dihakimi, dihukum, dsb. 

Alih-alih orangtua bisa memasukkan nilai-nilai penting, didengar pun tidak!

Jadi, dengar kan dulu anak dengan penuh perhatian, berusaha jadi temannya, dengar kan anak dengan konsentrasi penuh, jangan dipotong, jangan disela, berusaha cari poin pembicaraan, lakukan percakapan layaknya teman. 

Turun kan ego orangtua saat seperti itu.


  • 6. Ajak kegiatan bersama

Salah satu cara mudah mengajak anak-anak bercerita adalah dilibatkan dalam kegiatan orangtua. Misalnya diajak sama-sama cuci motor, diajak sama-sama masak, sholat berjamaah, makan bersama, cuci piring, beberes, dsb.

Ketika berkegiatan bersama, akan banyak cerita-cerita mengalir, anak akan lebih mudah bercerita. Pada saat seperti ini lah kita bisa menyelipkan beberapa pesan. 

Biasanya, makan bersama adalah momen yang paling sering memancing cerita. Orangtua bisa mulai dengan cerita-cerita seru terlebih dahulu. Bisa cerita apa aja, yang ringan-ringan. Entah cerita masa lalu saat jahil di sekolah, atau cerita menyebalkan karena dorong motor mogok 😂. Ini salah satu cara membangun kebersamaan dengan anak

Momen cerita saat makan bersama ini memang seringkali jadi ajang bercerita dan menyelipkan pesan-pesan ringan, tanpa terkesan menggurui.

Makan bersama ga harus di rumah, bisa juga di luar rumah. Tapi satu yang pasti, sebisa mungkin usaha kan selalu makan bersama. Kalau bisa ya tiap makan selalu bersama-sama, supaya someday anak bisa merasa kangen dengan momen berbagi cerita saat makan bersama ini.


  • 7. Berikan Penghargaan/Apresiasi

Sampai kapan pun, anak-anak mau pun orang dewasa butuh apresiasi, butuh penghargaan. Jadi, agar anak merasa dirinya berharga, berikan apresiasi terhadap hal-hal kecil yang ia lakukan. 

Misalnya

"Keren tuh Fal udah berani ngajuin diri buat jadi ketua kelas, kan kerjaannya ga mudah"

Dengan diberikan penghargaan yang tepat dan tidak berlebihan, anak akan makin percaya diri dan merasa dirinya mampu. Ini akan membuat anak juga lebih mudah mendengar orangtuanya. Hal ini juga akan menumbuhkan karakter positif pada anak.


  • 8. Ceritakan perasaan orangtua

Ketika berbicara dengan remaja, ada saat-saatnya mentok dan anak kekeuh dengan kemauannya yang ga sesuai keinginan kita, atau melenceng jauh dari kewajaran.

Pada saat itu, orangtua perlu berbicara dari hati ke hati dengan anak tentang apa yang dirasakan. Rangkul pundak anak dan coba bicara.

"Dek, bunda tuh sedih kalau adek sampai ga naik kelas cuma gara-gara sering telat. Kan sayang ya, padahal adek tuh pinter. Matematika jago, Fisika merem, Kimia keciiil. Apa adek ga merasa sayang?"

Anak akan lebih mudah mendengar kalau orangtua menceritakan apa yang dirasakan. Anak akan lebih mudah berempati ketika kita menceritakan perasaan kita. 

"Ya Allah dek, bunda bahagiaaa banget adek akhirnya naik kelas, kemaren bunda deg-degan bakal tinggal kelas gara-gara bolos" 😂


  • 9. Ceritakan harapan, pesan orangtua

Memaksakan kehendak orangtua pada anak memang tidak bijak, karena masing-masing anak pasti punya keinginan dan harapan sendiri.

Tapi, ga ada salahnya orangtua menceritakan apa yang ia harapkan dari anaknya, apa harapannya buat si anak.

"Dek, bunda mah pengen suatu hari nanti adek berhasil jadi pengacara sukses, keren kali ya. Trus bunda dibawa jalan-jalan keliling dunia, wuaaah, seru

"Kak, bunda mah pengen kakak bisa bantu-bantu bunda dan jagain adek-adek. Berkomunikasi dengan baik, jaga silaturahmi dengan saudara-saudara kalian"

Orangtua hanya sekedar menyampaikan harapan dan pesannya, bukan sedang memaksakan kehendak, karena masing-masing anak punya jalannya sendiri.


  • 10. Become Role Model

Ga ada wejangan yang lebih baik dibanding contoh yang diberikan orang tua. Mau bicara panjang lebar apa pun, kalau anak ga liat contohnya, ya agak susah. Sometimes ga perlu banyak bicara, orangtua cukup bergerak aja anak udah langsung bergerak. 

Kalau ingin anak jujur dan berintegritas, ya kasih contoh. Tunjukkan bahwa kita bukan orang yang mudah korup, event uang kegiatan RT😂. Mau anak jujur? Tunjukkan kalau kita mampu "jujur".

Sering kali kita mengharapkan anak menjadi sesuatu yang kita sendiri ga mampu mewujudkannya. Pengen anak jujur while orangtua seringkali bohong, bagaimana anak bisa jujur seperti yang diharapkan.

"Dek, nanti kalo oom itu ke rumah, bilang ayah lagi tidur ya" 

padahal bapaknya lagi leyeh-leyeh di kasur 🤣🤣

Mau berharap apa dari anak kalau orangtua sudah menunjukkan seperti itu? Kita berbusa-busa menyuruh anak supaya jujur juga percuma! Lha jelas-jelas di depan matanya diminta bohong!

Mau anak rajin sholat, rajin ibadah? 

Ya orangtuanya dulu yang harus menunjukkan di depan anak. Anak harus melihat sendiri orangtuanya ibadah kapan pun di mana pun. Anak itu butuh contoh pada berbagai situasi dan kondisi. Jadi orangtua akan selalu jadi referensi pertama ketika anak butuh sebuah rujukan, bukan orang lain. 

Kalau lagi ke luar kota, ayah/bundanya sholat ga? Bagaimana cara menjamak sholatnya? Kapan berhenti untuk sholat. Kalau naik kereta, orangtuanya sholat ga? Bagaimana sholat di kereta? 

Kalau orangtua ngga bisa atau malas kasih contoh? Ya sudah, terima apa adanya 🤣.

Ya pointnya, menjadi role model bagi anak itu merupakan salah satu cara berkomunikasi atau berbicara dengan remaja. 

Mau ngajak anak beberes? Langsung aja show up di depan mereka, beres-beres, ga pakai lama biasanya nanti pada ngikut 😂. 

Ada yang punya pengalaman sama? Atau malah beda? Yuk yuk share yuuuk.

Nah, gimana-gimana, mudah kan ya berbicara pada remaja? 🤣 

Ya begitulah seni berbicara pada remaja, kadang harus ada seni-seninya, ada trik-triknya, ada tarik ulurnya 🤣 

Btw, Suami berperan cukup besar dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Jadi, kalau bisa sih ayahnya anak-anak ya diajak terlibat pengasuhan ya.

Kebetulan suami saya memang ekstrovert dan hobi bercerita 🤣 . Suami sangat terlibat dalam pengasuhan anak-anak sejak kecil. Biasa mengajak anak-anak ngobrol, membacakan cerita waktu kecil, mendongeng, cerita ini itu ketika makan bersama di meja makan, dsb.

Happy parenting. Happy parenteen.


By : Maya Mai Farnomisa, S.psi, M.Si

Dilarang mengutip tanpa ijin!

Tulisan ini pernah saya paparkan di sebuah sekolah beberapa waktu lalu.

26 komentar

  1. Membuat anak laki yg tipe I mau bercerita itu bukanlah hal yg mudah. Awalnya. Alhamdulillah setelah rajin bertanya (agar tdk sesat di jln) tentang keseharian dia dan bercerita apa aja, pd wkt makan bersama, akhirnya skrg dia sdh mulai mau cerita2 tanpa ditanya dl, ya walaupun tdk sering.

    BalasHapus
  2. Ini pembelajaran buatku, apalagi anak2 udah mulai gede juga. Memang mba, bicara Ama remaja jauh lebih challenging daripada anak2. Lah sekarang aja si Kaka udah kritis banget, yang bikin aku ga bisa sembarangan ngomel atau merintah2 tanpa alasan jelas. Mereka lebih suka Diksh tau alasan dari hal-hal yang wajib dilakukan. Kenapa harus begitu ngelakuinnya, kenapa begini dll...

    Udah kebayang aja pas mereka remaja ntr 😅. Tapi pastinya aku sebisa mungkin selalu mau dengerin apapun yg mereka mau sampaikan. Krn ga kepengen aja nanti mereka jadi benar2 tertutup hanya Krn ortunya ga mau dengerin apa yg disampaikan

    BalasHapus
  3. Kalau soal ngomong sama anak yang udah gede emang perlu kehati-hatian ini, pemikiran mereka yang udah berkembang dan terpengaruh sama lingkungan tidak mudah dihadapi. Apalagi sifat mereka masih labil dan egonya tinggi, sebagai orang tua harus mampu mengayomi dan membimbingnya. Terima kasih informasinya!

    BalasHapus
  4. Bicara dengan anak yang sudah remaja memang gampang-gampang susah haha. Penginnya ya memang sebagai ortu, anak-anak mau terbuka bercerita tentang perasaannya atau hal2 apapun yang dialaminya, ya.
    Anak-anakku juga beda, ada yang gampang cerita ada yang enggak :D

    BalasHapus
  5. Mba Mayaaaaa makasiiii tips dan insightnyaaaa
    Bener² pencerahan buangetttt buat akoohh dan para ortu teens lainnya

    Secaraaa, remaja memang fase yg super WOW yaaaaa

    Tingkyuuu mba

    BalasHapus
  6. Saya pernah berpikir utk childfree dan pikiran itu pertama muncul pas saya teens. Padahal ortu saya tidak toksik. Hanya seperti ortu asia pasa umumnya, kurang bisa mengekspresikan cinta pada anak (atau mubgkin kami berbeda bahasa cinta). Jadi waktu itu saya mikir, males banget ribet begini nanti kalau punya anak remaja. Long story short, saya memutuskan oke utk punya aanak (dan dikasih sama Tuhan). Kini, anak pertama saya sudah masuk masa remaja...setuju banget deh apa yang dipaparkan mb Maya. Kadang komunikasi kami sbg ortu dan anak berlangsung baik, kadang juga berantakan hahaa. Semuanya jadi pembelajaran yang mendewasakan.

    BalasHapus
  7. Iya bener banget. Bicara ama remaja tuh emang kadang butuh pakai menghela nafas dulu. Banyak ngomong, si anak cemberut aja. kalau sedikit ngomong, dia bilang "lha mama nggak bilang"

    Tipsnya di sini bermanfaat banget nih buat saya pelajari dan praktekkan

    BalasHapus
  8. aku udah baca ini nih pas mba Maya share, aku udah komen apa belum ya, kayaknya udaaaah. hihi
    duh belum remaja aja udah galau akuuuu mba, hahah. Tercerahkan deh dengan tulisan ini. Aku udah praktik juga saran yang Maya tulis. Cuma kasih perintah tanpa embel2, kadang nih ya katanya mereka aku marah padahal aku nggak marah kok :)) apa nggak nyadar ya aku pakek mata melotot :))
    banyak seninya ya mba berbicara pada anak tuh, masya Allah makasih tulisannya mbaaa..

    BalasHapus
  9. Aku sedang mengalami ini mbak. Kalau banyak bicara, mereka cemberut. Kalau saya irit bicara mereka bilang "Lha mama nggak ngasih tahu". Duh repot memang ya.

    Emang perlu teknik khusus ngobrol sama mereka ini ya. Tipsnya mesti saya simpan dan praktekkan nih

    BalasHapus
  10. Mba Maya aku baru tahu kalau Mbak psikolog. Wah pantesan pernah lihat lagi sharing jadi narsum di sekolah. Aku merasa tertohok karena pernah lagi kesel akibat diomelin ibuku, eh anak yg jadi sasaran. Udah usia segini masih sering kena omel aku hiks. Udah gitu kritik all day. Kayak semua yang aku lakuin salah dan kurang di mata dia. Maaf curcol dr sudut pandang anak

    BalasHapus
  11. iya mbak, ngobrol sama anak remaja memang udah beda dengan ngobrol dengan anak-anak yang lebih kecil. remaja itu anak kecil bukan, dewasa bukan. jadi memang harus memahami karakternya dulu ya, ajak diskusi dan stop ngomel hehe nanti mereka malah kabur dan jutek tiap kali liat kita karena kuatir diomelin.

    BalasHapus
  12. Bener banget bagian orang tua hadi role model, soalnya anak adalah copy cat ulung yang melihat semua tindakan orang tuanya. Tapi kalau punya anak remaja udah susah susah gampang ya, ada seni berbicara khusus juga. Deg2an juga nih yang mendampingi putra/i udah abg,

    BalasHapus
  13. Wuah ngobrolin ngomel aku juga sering ngomel huhh jdi sebaiknya langsung bilang aja yaaaa apa yang kita maksud.
    Soale kadang anak2ku suka lupa, misal aku minta buang sampahnya, eh lupa, diingetin lg, mpe ngomel mboknya 🤣
    Tp untung gak pernah ngomelin depan org lain sih.
    Parenting remaja nih emang challenging sekali ya, kudu dicoba nih tips2nya haha TFS mbak

    BalasHapus
  14. Jadi orangtua dengan anak remaja memang memiliki tantangan tersendiri ya mba. Menjadi pendengar yang baik emang kunci juga agar kita juga dekat dengan anak remaja kita :)

    BalasHapus
  15. saat anak - anak beranjak remaja, kita memang harus melakukan banyak penyesuaian agar frekuensi komunikasi dengan anak - anak juga terjaga yaa mba

    BalasHapus
  16. Emang challenging banget ngobrol ama remaja yah mbaak, beneran harus sabar banget. Tapi iya sih tanpa sadar kita sering ngomel karena pengen lampiasin kekeselan yaah, padahal cukup diomongin baik2 aja deh hehe

    Aku juga sekarang lagi berusaha banget jadi pendengar yang baik buat anak2 nih untuk merangsang mereka supaya mau curhat ama aku hehe

    BalasHapus
  17. sebentar lagi anakku remaja, dan agak khawatir bisa gak ya ngadepin fase remaja anakku dengan segala kesulitan berbicara huhuhu

    BalasHapus
  18. Pengasuhan anak remaja nggak kalah menantang ya mbak
    Aku deg deg an nih
    Sebentar lagi anakku remaja
    Artikel ini bisa jadi panduanku saat berbicara pada anak remajaku nanti

    BalasHapus
  19. Tantangan banget ya mbk ngomong sama anak remaja. Jadi harus lebih hati hati, makannya ada seninya ya. Makasih tipsnya mbk

    BalasHapus
  20. SEtiap masa pertumbuhan anak tuh selalu ada cerita ya mbak. Aku ngalami waktu si sulung dulu SMA, tadinya suka ngobrol mendadak jadi main rahasiaan. Sementara adiknya yang tadinya pendiam malah jadi rame. Tiap anak beda penanganannya

    BalasHapus
  21. Mantap. Semuanya menyerap banget. Saya yg bakal punya anak menuju remaja ikut belajar nih. Mencontek gaya dan ilmunya dalam menghadapi anak remaja

    BalasHapus
  22. Kalau pengalaman saya ke anak2, Sering mengajak diskusi contoh kasus, banyak cerita pengalaman baik/buruk saya sejak kecil hingga dewasa (misal di panggil BP, misal mau ujian eeh di tengah jalan ban bocor solus8 waktubitu spt apa?...) dkk
    sehingga anak kalau menemukan masalah bs ingat2 atau bertanya misalkan, bunda dulu pernah ga suka sm seseorang? Bunda kalau ada yg ga suka sama kita gimana? Dkk...

    BalasHapus
  23. Mak2 nih sukanya ngomel melulu sama anak2nya. Padahal remaja itu sensitif. Kudu dikurangin deh makk..

    BalasHapus
  24. aku nih mak, anak mulai remaja, belajar gak ngomel, dan itu sungguh berat hahaha

    BalasHapus
  25. Menghadapi anak remaja emang luar biasa ya. Terutama urusan ngomel. Yupz, anak remaja itu merasa sebel dan bosen banget kalau ortunya ngomel.

    Sekadar nyuruh matiin lampu atau lainnya aja kudu panjang dulu. Padahal, bahasa yg lebuh singkat iru ada.

    BalasHapus
  26. Artikel ini menjadi pengingat bagi saya yang punya 2 anak remaja laki-laki. Ada yang terlupa dan untung diingetin di sini. Kebetulan memang keduanya punya karakter bertolak belakang, jadi treatmen-nya tak bisa disamakan. tapi baca ini saya jadi ingat kalau cara sama bisa dipakai dengan modifikasi sesuai situasi dan kebutuhan saat itu.

    BalasHapus

Komentar anda merupakan apresiasi bagi tulisan saya. Terima kasih sudah berkunjung. Maaf jika komen saya moderasi untuk mencegah pemasangan link hidup dan spam.

Tertarik bekerja sama? Kirim email ke siswadi.maya@gmail.com