Bullying akhir-akhir ini memang marak kembali dibicarakan karena mencuatnya kasus beberapa anak sekolah yang menganiaya teman-temannya. Padahal, bicara bullying, sebenarnya bukan masalah baru. Bicara bullying sebenarnya sudah ada sejak jaman purba. Hanya saja, istilah bullying memang baru marak beberapa tahun terakhir.
Lantas apa hubungannya mengatur keuangan dengan bullying? Hahaha, ada banget. Nanti akan saya ceritakan lebih detail yaa.
Jadi, pagi hingga siang itu, 9 September 2017, di JSC Hive Co-working Space, saya dan beberapa teman-teman dari kumpulan emak-emak blogger (KEB) berkesempatan mendapatkan 2 ilmu yang luar biasa. Ilmu Literasi Keuangan dari Jouska Financial, dan Ilmu Menyikapi Bullying pada Anak dari Psikolog Vera Itabiliana, M.Psi.
Acara dibuka dengan kata pengantar singkat dari Bapak Suandi Sitorus, Section Head of Training Quality Assurance Sinarmas MSIG Life. Pak Suandi menyebutkan, dalam 3 tahun terakhir giat melakukan edukasi keuangan, untuk membantu OJK dalam meningkatkan Literasi Keuangan masyarakat. Baru 30% saja edukasi keuangan menjangkau masyarakat. Masih panjang perjalanan euuyy.
Sambutan selanjutnya disampaikan emaknya para emak-emak KEB, Mira Sahid. Menurut mak Mira, baru kali ini berhasil mengumpulkan sekian banyak emak-emak (sekitar 50an) untuk mendapatkan sharing yang bermanfaat.
Terjebak Middle Income Trap?
Sharing session pertama dimulai oleh Aakar Abyasa Fidzuno, financial advisor pendiri Jouska Financial.
Sharing dari mas Aakar ini terus terang menyentil-nyentil saya bolak balik dan bikin mikir, udah bener belum ya pengaturan keuangan saya?
Mas Aakar menyebutkan, sekarang ini, banyak sekali kaum muda, atau bahkan usia matang sekali pun, terjebak pada middle income trap.
![]() |
Mas Aakar menjelaskan middle income trap dengan penuh semangat |
Middle Income Trap terjadi ketika selama bertahun-tahun, kalangan middle income gagal meningkatkan kemampuan keuangannya ke taraf high income. Mereka terjebak di gaya hidup middle class dan sulit mencapai high class income.
Penyebab utamanya?
Tidak mampu mengatur keuangan!
Menurut mas Aakar, kalangan middle class ini, baru naik income dikit, berubah juga gaya hidupnya. Biasa ngopi di warung seharga ribuan, ganti nongkrong di cafe Dan ngopi seharga 50 ribuan, seminggu sekali. Naik income lagi, nongkrongnya jadi lebih sering, bisa 2-3x seminggu atau ganti kelas hotel.
Kalau dulunya cuma berani beli keju merk Pro****, begitu income naik, beli kejunya naik kelas juga, kr***. Nah! Belum terhitung tas, sepatu, dsb. Dulunya cuma berani beli baju di pasar, sekarang di department store. Naik pendapatan dikit, naik lagi ke kelas butik.
Kalau dijabarkan, mas Aakar sampai hapal pendapatan seseorang dari atribut-atribut yang dipakainya. Hahaha.
Nah, banyaknya kalangan yang terjebak gaya hidup seperti ini, akan bisa membuat mereka terjebak pada middle income trap, jika tak pandai-pandai mengatur keuangan. Bukannya income naik, tapi lama-lama bisa jatuh jika suatu saat colapse, tiba-tiba di PHK, bangkrut atau kena musibah.
Naiknya income diiringi naiknya kebutuhan dan gaya hidup, bukan naiknya investasi. Serasa punya duit banyak, serasa mampu secara finansial, tapi ternyata minus, tidak kokoh secara finansial. Ga punya aset, ga punya investasi.
Kredit menumpuk, ga sanggup bayar cicilan, ga punya tabungan, dana cadangan habis, ga punya investasi, sampai ga punya asuransi kesehatan dan ngos-ngosan mencari dana saat sakit. Atau yang lebih memalukan, punya barang branded, tapi giliran bayar sekolah anak, memelas-melas ke orang, karena ga punya dana pendidikan! "Ini memalukan!" kata mas Aakar.
Duh, nyentil banget ga sik?
Fenomena seperti itu bukan isapan jempol, banyak terjadi di masyarakat kita. Rela menjebol kartu kredit demi gaya hidup dan dipandang OK.
Kebutuhan lebih besar dari penghasilan dan kemampuan membeli. Tak perduli pada akhirnya "megek-megek" dan dibully "ah payah loe". Yap, kalau kemampuan finansial merosot drastis, bukan tidak mungkin akan mengalami bullying. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah jatuh dan malah dibully.
Agar Tak Terjebak Middle Income Trap
Ngeri ya kalau mendengar pemaparan mas Aakar. Lantas bagaimana agar tidak terjebak middle income trap ini?
1. Current Financial Check
Pertama yang harus dilakukan adalah cek semua surat-surat dan aset berharga. Hendaknya semua tercatat jelas dan ada surat tertulis. Suami istri harus terbuka dalam hal ini, agar jika terjadi apa-apa, menjadi jelas hak masing-masing.
Perhatikan sertifikat rumah, apa statusnya? Masih banyak yang ga memperhatikan hal ini. Ada yang surat tanahnya baru girik aja atau malah cuma ppjb.
Sebagai istri, biasakan untuk menyimpan semua surat-surat financial, sertifikat rumah, polis, dsb.
Asuransi kesehatan merupakan fondasi dalam keuangan keluarga. Masalah satu ini justru hal utama yang harus didahulukan. Miliki asuransi kesehatan agar tidak pontang panting ketika ada yang sakit.
Mas Aakar menyebutkan, Asuransi Kesehatan yang ada di Sinarmas MSIG Life (www.sinarmasmsiglife.co.id) salah satu askes terjangkau dengan coverage lengkap yang pernah ia tahu yang sering direferensikan kepada klien-kliennya.
Sisihkan uang khusus untuk membayar dana, jangan menunggu ada sisa!
Ketika mengurus askes, sebaiknya pemilik polis bukan pencari nafkah utama, misalnya istri. Karena begitu suami meninggal, maka manfaatnya masih tetap bisa dirasakan.
Kenali resiko keuangan keluarga. Masing-masing keluarga punya resiko keuangan yang berbeda. Entah suami yang boros istri yang irit, atau istri yang boros dan suami super irit, atau malah dua-duanya boros? Kenali ini dan antisipasi. Pahami bahwa dalam hidup selalu ada resiko-resiko, sakit, kena musibah, dsb.
Belajar lah mengatur keuangan dan lakukan investasi, tidak terlalu percaya diri bahwa keuangan akan baik-baik saja selamanya.
Bagaimana kalau sakit? Bagaimana kalau tiba-tiba rumah kena gempa? Bagaimana jika suami dipecat atau bangkrut? Bagaimana jika pencari nafkah utama tiada? Bagaimana jika pencari nafkah utama kecelakaan?
3. Goals
Hidup itu harus punya tujuan kan? Nah sama dengan keuangan. Harus tahu tujuan keuangannya. Apa yang mau dicapai? Pendidikan anak-anak terjamin? Kesehatan keluarga aman? Kesejahteraan keluarga tercapai? Keuangan meningkat? Masa pensiun aman?
Pada prinsipnya, jika ingin keuangan aman, utamakan asuransi kesehatan keluarga, tabungan pendidikan ditambah sehingga pada saatnya, pendidikan anak sudah aman. Siapkan dana cadangan.
Ketika menerima pendapatan, langsung sisihkan untuk membayar dan masukkan ke dalam post-postnya. Jangan ditunda atau dibalik "ntar aja ah, nunggu ada sisa". Yakin deh, kalau menunggu ada sisa untuk gaya hidup, ga akan ada sisanya! So, lebih baik sisihkan di awal, sebelum digunakan untuk keperluan lain!
Menyikapi Bullying Pada Anak
Sharing dilanjutkan oleh mba Vera Itabiliana, M.Psi, psikolog yang banyak berkecimpung di dunia anak dan remaja.
Bullying memang cukup meresahkan, data KPAI menunjukkan bahwa sejak 2011-2014, kasus bullying masuk urutan teratas dari laporan yang diterima KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Yang memprihatinkan, pelaku bullying juga meningkat pada 2015 (sumber : KPAI.go.id). Hal ini tentu menyedihkan. Mengingat dampak buruk bullying dapat menyebabkan rendahnya harga diri, putus sekolah, hingga bunuh diri.
Mba Vera menjelaskan definisi Bullying dan menyebutkan indikatornya ada 3: menyakiti, disengaja, dilakukan berulang kali, dan kekuatannya tidak seimbang. So, kalau tidak dilakukan berulangkali dan bukan dengan tujuan disengaja, maka hal itu tidak bisa dikategorikan bullying.
Bentuk bullying ada beberapa :
Fisik
Tindakan intimidasi atau mengancam yang dilakukan secara fisik, misal memukul, dsb.
Verbal
Bentuk bullying yang berupa kata-kata, ejekan, atau olok-olok
Relasional
Bentuk bullying yang tampak dalam berhubungan sosial. Ketika anak datang, teman-teman bubar. Atau segerombolan anak-anak sengaja mengabaikan.
Waktu kelas 3 SD, Falda pernah mengalami ini, bullying relasional karena cenderung pemalu dan kurang mampu mengungkapkan pendapat sehingga kadang dikucilkan teman-temannya, jarang dapat teman sebangku, dsb.
Cyber bullying
Bullying yang dilakukan di dunia online
Siang itu mba Vera membahas Bullying dari 3 sisi; Korban, Pelaku, dan Saksi.
Korban
Pada saat kapan orang tua harus waspada terhadap anaknya yang jadi korban bullying? Ketika anak menunjukkan tanda-tanda yang tidak biasa seperti mengurung diri, pemurung, menarik diri, mengalami gangguan tidur, sering melamun, enggan sekolah, ada barang-barang yang hilang atau rusak, dsb.
Orang tua hendaknya peka terhadap perubahan anak dan menanyakan masalah ini dengan hati-hati. Dalam beberapa hal, anak enggan bercerita karena takut disalahkan, atau takut disuruh menyelesaikan sendiri masalahnya.
Sebagai orang tua, harus cukup peka dan berempati terhadap permasalahan anak. Jangan terbawa emosi dan mampu menempatkan diri dengan baik. Jangan sampai orang tua terlibat terlalu jauh, ikut emosi dan masalah jadi runyam.
Ketika terdeteksi anak mengalami masalah di sekolah, coba lah berbicara dengan guru, ajak guru bekerja sama membantu menyelesaikan masalah ini. Berikan pihak sekolah dan guru kesempatan untuk membantu menyelesaikan, jangan langsung berurusan dengan pelaku.
Ini yang saya lakukan ketika Ferdi mengalami ini.
Baca : Dari cakar-cakaran sampai sakit perut
Pelaku
Bukan tidak mungkin anak justru terjebak menjadi pelaku bullying. Biasanya anak-anak yang seperti ini memperlihatkan sikap manipulatif, bertindak manis di rumah, tapi di luar berbeda, mudah menyalahkan orang lain, tidak bertanggung jawab, emosinya kurang terkendali.
Bagaimana menyikapi pelaku bullying?
Terima anak apa adanya, berikan ruang dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Tak jarang, pelaku bullying adalah anak-anak yang butuh disalurkan kemampuannya. Ketika ia diberikan ruang untuk berkreasi dan tanggung jawab, perilaku bullying akan berkurang.
Saksi
Bagaimana kalau anak justru ada di posisi saksi? Beberapa anak mungkin bisa saja menjadi saksi perilaku bullying oleh temannya.
Apa yang harus dilakukan?
Bantu anak untuk menyadari bahwa temannya perlu dibantu agar tidak menjadi korban, bantu anak merasakan empati sebagai korban.
Upaya Proteksi Terhadap Bullying
Agar anak tidak menjadi korban, pelaku, atau saksi bullying, beberapa hal ini bisa diterapkan orang tua, dimulai dari pendidikan di rumah, untuk mengantisipasinya
1. Ajarkan anak menyelesaikan konflik
Bantu anak belajar menyelesaikan konflik. Belajar menyelesaikan masalah. Orang tua hendaknya bisa menahan diri untuk tidak cepat-cepat ikut campur. Biarkan anak belajar menyelesaikan konfliknya sendiri. Orang tua cukup jadi fasilitator.
2. Ajarkan anak bersikap asertif
Bantu anak untuk belajar bersikap tegas tapi tetap santun. Berani menolak tapi tidak membuat yang ditolak sakit hati
3. Ajarkan anak membangun pertemanan
Anak-anak yang pemalu dan introvert cenderung agak susah bergaul. Bantu mereka agar mampu bersosialisasi dan membangun pertemanan yang baik dan sehat, agar tidak mudah dibully.
4. Ajarkan anak pola asuh demokratis
Bantu anak untuk belajar bagaimana menjadi pribadi yang demokratis dengan menerapkan pola asuh demokratis
5. Ajarkan anak manajemen emosi
Bantu anak belajar mengenali emosinya dan cara mengendalikannya. Misalnya anak perlu tahu tentang amarah, sedih, takut, dsb. Bantu ia menemukan cara yang aman dan nyaman untuk melaluinya.
6. Ajarkan anak berempati
Bantu anak belajar bagaimana memahami kondisi dan emosi seseorang, bagaimana menempatkan emosi yang tepat pada sebuah situasi.
Yang Berisiko Jadi Korban Bullying
Ada beberapa anak yang biasanya mudah menjadi korban bullying
1. Anak Baru
Anak baru di suatu lingkungan akan cenderung lebih mudah menerima bully karena mereka belum memahami dan menguasai situasi. Belum memahami rules, norma-norma, atau budaya yang berlaku di suatu wilayah.
2. Paling Kecil
Anak yang berbadan kecil atau berusia paling muda, bisa jadi menjadi korban bullying karena mereka cenderung kurang punya kekuatan atau kepercayaan diri yang untuk melawan.
3. Terlihat Sangat Berbeda
Nah, anak-anak yang kondisinya berbeda di banding teman-temannya, bisa jadi korban bullying karena perbedaan kondisi ini. Entah terlalu tinggi, terlalu pendek, terlalu gemuk, terlalu kurus, berkacamata tebal, dsb.
4. Pemalu
Anak-anak yang pemalu, kurang percaya diri, atau introvert biasanya akan cenderung mudah menjadi korban bullying karena mereka biasanya tidak berani melawan ketidakadilan atau diam saja ketika diperlakukan kasar.
5. Pengikut
Anak yang mudah menjadi pengikut atau mudah dibuat jadi pengikut pun cenderung menjadi korban bullying.
6. Berada pada tempat dan waktu yang salah
Nah, kondisi begini nih yang ga enak. Kadang pas ada kejadian, misalnya anak jadi saksi korban, bukan tidak mungkin bakal bisa jadi korban juga.
7. Dianggap pengganggu
Kadang-kadang dalam pertemanan, ada orang-orang yang dianggap pengganggu dan membuat yang lain merasa ga nyaman. Kalau begini, bukan ga mungkin akan jadi korban bullying.
8. Kurang mampu
Nah, masalah kurang mampu ini yang mau saya kaitkan dengan masalah finansial di atas.
Biasanya, ketika orang tua mengalami masalah financial atau lemah secara ekonomi, sang anak bisa saja menjadi korban bullying.
Bullying mungkin terjadi tidak secara langsung, tapi melalui atribut yang dikenakan anak, misal dalam bentuk olok-olok terhadap sepatu yang robek, baju yang lusuh, atau tas yang compang camping. Atau bisa juga bullying berupa pengabaian atau pengucilan terhadap anak karena dianggap tidak mampu "bergaul" di kalangan yang lebih tinggi. Hm, terus terang, saya pernah berada di posisi ini. Ga diajak bergaul di kalangan tertentu karena dianggap "kurang asyik", penampilan kurang meyakinkan. Ahhhh, menyedihkan ya?
Memang sih, bullying sebaiknya tidak terjadi. Harusnya, semua orang, semua anak diperlakukan sama, right? Tapi jika kita bisa mengantisipasinya, why not?
Sebagai orang tua, kudu waspada terhadap bullying sekaligus mampu mengatur keuangan dengan baik. Ga mau kan sampai terjebak dalam middle income trap dan anak-anak menjadi korban kecerobohan orang tuanya? *Ehhhkk *Self reminder nih.
Mumpung masih muda, yuk atur uang dengan bijak.
Iya bener juga yang middle income trap, berasa ngaca deh bacanya Mbak. Gaji naik dikit udah bingung pengin upgrade ini itu.
BalasHapusPas sekolah dulu juga pernah jadi korban bullying, sedih banget sampai bikin males sekolah.
aduh ketoke aku jleb, ga punya investasi juga, hedeh lbh ke nabung tok.soal bullying anakku badannya kecil, kayak aq dulu. makanya pgn anak ndut supaya ga dibully kayak ibunya dlu, hiks
BalasHapuswah info penting ini
BalasHapuskayak saya yg jarang bisa nabung...berarti itu membully diri sendiri ya hehehe
Aku juga blm investasi. Hehe... Semoga bs mendindari midle income trap. Dan alhamdulillah gak pernah dibully
BalasHapusKeadaan ekonomi yang kurang mampu memang bisa jadi sumber bullying ya, Mbak. Tapi mau gimana lagi, kondisi ekonomi saya pas-pasan, jadi otomatis saya yg harus menguatkan anak2, biar bisa bertahan atau melawan jika dibully :)
BalasHapusIya tu, gak kerasa yaaa kena jebakan middle trap.
BalasHapusSbnrnya pengen jg bagi2 pos, inves ini itu, nabung, tapi kdng ngrasa buat makan aja kok ya msh blm nyisa hehe.
Tapi kudu dipaksain ya mbaaakk
Itu fenomena yang lazim banget ya soal middle income trap itu. Naik gaji, naik pula gaya hidup. Jadinya gak berasa penambahan pemasukannya, karena pengeluaran juga ikut berubah seiring berubahnya gaya hidup tadi. Padahal kalo bisa konsisten bertahan dengan gaya hidup lama, kenaikan gaji jadi lumayan tuh selisihnya.
BalasHapusMasalahnya, godaan gengsi jaman sekarang ngeri banget. Hihihi. Tinggal kuat-kuat kita nahan diri biar gak terus-terusan kejebak sama middle income trap. Nice post, Mbak.